Era keemasan batubara sedang berkibar di Kalimantan Timur.
Melanjutkan era kayu gelondongan dan minyak yang kini hampir hampir
jadi kenangan. Belum habis batubara, berkibar lagi perkebunan kelapa
sawit.
Anugrah Ilahi pada sumberdaya alam minyak dan gas,
kayu, batubara, serta kelapa sawit membuat Pulau Kalimantan, apalagi
provinsi Kaltim jadi primadona bagi investor untuk menanamkan modalnya.
Namun
ada ironi dalam primadona itu! Provinsi Kaltim belum menyadari dan
menggali dengan serius potensi ini untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tak dapat dibantah, masih banyak kota yang akrab dengan
kegelapan atau pemadaman bergilir karena penyediaan listrik yang minim.
Masyarakat terpaksa swakelola menyediakan listrik. Jadilah beban hidup
bertambah. Boleh jadi semakin runyam jika harga BBM juga naik.
Keseriusan
pemerintah seharusnya tertuju untuk membantu PLN menggenjot suplai
listrik. Bahkan mengurangi disparitas penyediaan listrik di pedalaman,
dan kecamatan kecamatan di pesisir pantai sepanjang Kaltim.
Disparitas
penyediaan sarana infrastruktur kelistrikan juga masih mencolok antara
Utara-Selatan dari Kaltim. Di Selatan dan Pesisirnya, masih ada tanda
tanda kehidupan dengan penerangannya. Ironis bagi Utara dan
pedalamannya, masih gelap gulita dan terus bersabar menanti listrik.
Kecuali Kota Tarakan yang cerdas mendorong tumbuhnya listrik dengan
kebijakan tarif regional.
Kewajiban Provinsi
Pemerintah
provinsi juga seharusnya aktif berpartisipasi untuk mengidentifikasi
sentra kebutuhan listrik bagi masyarakat di wilayahnya. Tak tertinggal
mencari solusi alternatif teknologi yang menggunakan prinsip energi
baru atau efisiensi energi. Juga disokong dengan kebijakan
pengalokasian sumber energi untuk pembangkit listrik. Nah yang terakhir
memberikan dukungan pada swasta supaya aktif dan berminat menanamkan
modalnya di bisnis ini.
Tantangan yang juga berat adalah
memunculkan keberanian pelaku jasa keuangan, baik dari perbankan maupun
lembaga keuangan non bank untuk membiayai pembangkit listrik. Kerikil
kecil yang sering dikuatirkan adalah kekuatan teknologi. Ditambah
kekuatiran penguasaan operasional dan pemeliharaan pembangkit listrik.
Apalagi bagi pemain baru maupun peralatan yang berasal dari Cina.
Padahal, kekuatiran ini tidak dibuktikan secara kasus per kasus namun
digeneralisasi hanya berdasarkan "kabar burung".
Kemampuan
analisis pelaku jasa keuangan harus ditambah dan diasah lagi. Apakah
harus ditingkatkan sendiri? Ataukah kalangan praktisi yang memberikan
pendekatan kepada mereka? Boleh jadi juga dibangun interkoneksi supaya
ada aliran pengetahuan bahwa permasalahan yang dikuatirkan dapat
diselesaikan dengan baik bagi praktisi.
Jika kita semua
sebagai anak bangsa Indonesia yang berbakti di sisi praktisi pembangkit
listrik ataupun lembaga keuangan maka negeri ini akan terjajah lagi
dalam era globalisasi melalui sektor ekonomi.
Serangan
ekonomi global menjadikan Indonesia sebagai target pasar dari setiap
produk teknologi asing. Manca negara tak memberi kesempatan Indonesia
untuk menjadi produsen, namun dijejali dengan aneka produk.
Kondisi
ini, seharus menjadi bagian perhatian penting bagi Kaltim dengan
memacu sentra ekonomi terintegrasi. Konsep terintegrasi harus terwujud
dengan dukungan awal tersedianya listrik.
Jika tak ada konsep yang jelas untuk membangun Kaltim maka bakal jadi Lemah dan Lunglai ditengah lumbung energi.
Sangatta, 5 Mei 2012.
http://www.facebook.com/notes/syukri-muhammad-nur/kaltim-gelap-dan-lunglai-di-tengah-lumbung-energi/393712760672797